Gerimis mewakili senjaku sore itu.
Buram, oleh kelakuan bejat diri sendiri.
Sikap dan rautmu dipenuhi dengan warna-warni kelabu.
Kau tutupi tubuhmu pada
nista perilaku.
Ternyata cintamu dejavu, datang dan sangat cepat sekali
berlalu.
Mengenal, dekat, sampai dipaksa harus mencinta lalu kau pergi menorehkan luka seperti mimpi bagiku.
Teramat singkat dan terburu-buru.
Cinta kita dinodai birahi, baranya tak seperti nyala api (lagi).
Kasih kita dirasuki syahwat, sampai hasrat itu tidak ada (lagi).
Merasa sia-sia pelukan kita semalam dan banyaknya waktu yang terbuang, hanya menanggalkan perpisahan.
Sayang, khilafmu yang banyak saja aku maafkan, tapi mengapa salahku yang satu ini tidak.
Aku mempunyai banyak kekurangan dan memiliki kelebihan yang tidak dimiliki banyak orang.
Salah satunya memaafkan orang yang aku sayang.
Dengan nada parau ku memohon, maafkanlah aku, rumah dan dadaku lapang hanya untuk menunggumu kembali pulang.
Seharusnya selalu ada kata maaf untuk cinta, seharusnya...
Atau memang kau tak pernah cinta karena dipikiranmu hanya nafsu belaka.
Tapi yasudahlah, aku bisa apa?.
'Maaf' -- itulah pesan yang akan selalu kukirim padamu tanpa pernah kau balas.
Cinta kita sudah kecewa, dia tidak akan pernah lagi sama, semua sudah hilang rasa, dan tak sebaiknya pula aku memaksa.
Surat dan sajakku berkaca-kaca, lebih basah dari airmata.
Aku patah hati namun aku tetap bersyukur.
Bersyukur masih dini ku telah ditemui karma.
Terima kasih Tuhan,
Terima kasih kau yang beberapa hari kemarin masih boleh kusebut kekasih, untuk segala gejolak yang singkat ini.
;")
BalasHapus