Senja itu aku tertidur di ruang tamu, menyandarkan kepala di bahu teman kampusku yang gagah,
jangan bilang teman yang lain bungkamku dengan sebuah kecupan di
bibirnya. Aku mengingat banyak wajah di sela cumbu hari baru atau malah
mungkin hari akhirku dengannya. Sekilas dalam bola matamu, ku lihat apa
itu surga, hingga kau sekat dan memilih memejam untuk sekadar
mengelabuhi pandanganku. Setelah berpeluh denganku, malamnya ia dibawa ke psikater lagi, dia memang sedang sakit, ku rasakan kulitnya hangat yang menghangatkan, maaf kataku, besok tapi lagi ya ujarku dalam hati.
Waktu berselang pecutan kata keluar dari bibirmu yang serentak membuyarkan sukmaku, tiba-tiba kau marah. Salahku apa?.
Baiklah, mungkin aku salah, aku meminta maaf karena aku masih tahu caranya berterima kasih atas
sebuah harga, semoga masih ada pengampunan untuk hati cemas di hari ini.
Sebagian pikiranku gundah akan diri sendiri, sebagian hatiku riuh mendebarkan namamu. Sebagiannya lagi cemas akan kita. Benarku tak pernah benar, salahku selalu saja salah. Jika memaafkanku terasa mahal, berapa harga mintamu?. Namun aku belum cukup kaya raya untuk membeli sebuah ego denga seperangkat angkuhmu. Aku berusaha menjadi baik di mata orang-orang yang aku pilih, jika enggan memaafkanku baiknya aku pergi.
Dalam hatimu yang terbuka, kucoba meraba adakah namaku di sana?,
ternyata ada banyak nama, namun kurasa tidak ada satupun namaku di antaranya.
Dalam pikiranmu yang gamang, kucoba meraba adakah tentangku disana?,
ternyata ada banyak hal, namun kurasa tidak ada satupun tentangku di dalamnya.
Kau ibarat buku sangsekerta tidak dapat ku pahami makna di setiap lekuk tubuhmu yang ingin ku pelajari.
Hasratku padamu sangat besar, tapi aku punya rasa yang lebih besar dari itu yaitu malu.
Hatiku yang sudah tak mengenal rasa sakit mencoba tabah melebihi semua gegabah yang sering kulakoni.
Mengapa harus saling memusuhi untuk segala yang kau sukai tapi tak dapat dimiliki.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar