Aku menunggumu tidak lebih lama dari kereta sore itu. Aku mengenalmu cukup lama tapi hatiku tetap tak benar-benar mengenalimu. Kukira kau sosok pendiam yang tertutup, tapi sepertinya di dekatku kau bicara lebih banyak dari kemauanmu. Katamu aku ini orang yang angin-anginan, menit ini mau di detik berikutnya bisa berubah, aku memang peragu oleh itu butuh seseorang paling tidak yang sepemikiran denganku untuk sekadar meyakiniku.
Kita akan kemana? cuaca sore di kotaku terasa terik mungkin tidak sesejuk seperti di kotamu. Tak perlulah kau kaget juga biaya apa-apa di sini sangat melangit tidak membumi seperti di sana. Sebenarnya tak perlu ditanya kita akan ke mana, seperti perjanjian kita, aku akan menemanimu di suatu tempat untuk menghabiskan hari sampai esok kau dijemput oleh saudaramu di sini.
Hari terasa lebih singkat dari biasanya atau mungkin sebatas perasaanku saja. Malam meninggi, kelam malam mungkin bak kelam hatimu. Kau bercerita ngaro ngidul sedang aku asik tertidur, maaf jika aku bukan pendengar yang baik. Lantas aku bisa saja memeluk lalu terlelap pulas di atas luas dadamu tapi tak pernah bisa memeluk dan mendiami sempit hatimu. Biarlah dengung sumbang dan kumpulan semut seselesai acara televisi seperlima pagi yang menjadi saksi pertemuan punggung dengan punggung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar