Kamis, 06 April 2017

Baru Pertama Kali Rasakan Lagi Betapa Rumitnya Kencan Pertama



Berulang kali menatap merah petang hari ini. Karena pekerja yang tak punya kendaraan pasti kan mengutuk hujan di sore hari apalagi jika punya sebuah janji. Hari ini dari pagi hatinya dibuat gamang, kebaya kawan yang tak sesuai selera ditambah tak dapat dikancing karena sesak di bagian dada menambah deret panjang rasa sedihnya.

Siang hari kawan terbaiknya di tempat kerja berkata agak kasar tak kala melihat tampilannya hari ini sangat tak indah, malu-maluin dia katanya. Harusnya bisa lebih rapi lagi agar membuat temannya terpukau. Ya temannya, saya ada janji berkencan dengan salah satu teman dekatnya.

Jam lima kurang dua saya sudah memesan transportasi online, tetapi jalan ibukota yang tak pernah lengang membuat saya datang dengan tergesa dan ternyata dia sudah ada di tempat lebih dulu dari pada saya. Dengan bergegas saya merapikan diri di kamar mandi seraya mencuci muka, membuka hoodie kesayangan dan membiarkan hanya kaos oblong gombrong andalan berwarna pine yang tertinggal di badan. 

Saya menelpon kedua kalinya karena telepon genggam saya kehilangan sinyal setelah mengetahui dia sudah tiba di lokasi dan menyuruhku bertemu di lantai atas.

“Di mana? Aku sudah ada di depan loket teater.”
“Belum sampai, sepertinya aku nyasar di pusat perbelanjaan,” jawabnya lembut.

Ini pertemuan kedua kalinya dengannya jadi saya sudah tak begitu canggung.

Film berjalan begitu lambat, hanya sedikit ku dengar tawanya di antara tawa penonton lain jika ada adegan yang lucu. Ku lirik ke arahnya ku pikir dia sedikit mengantuk.

Filmpun usai kami meninggalkan ruang teater dan memutuskan makan malam bersama, membicarakan hal-hal permukaan yang ingin saya tahu darinya langsung. Kendaraannya di tinggal di kantor agar cepat menemuiku tadi, walau tak bisa mengantarku tapi dia tetap bersamaku menyebrangi jembatan hingga aku duduk di transportasi online menuju rumahku yang hanya berjarak dempang.

Saya mengabarinya ketika sudah tiba di rumah, dia pun sama. Sampai saya ketiduran di sofa karena menunggunya tiba di kediamannya.

Lalu kami bercakap hingga larut menanyakan hal-hal sepele seperti mengapa kulitnya terasa dingin seperti ubin musholah dan mencandainya dengan cerita tidak semua lantai musholah disajadahi. Apalagi musholah dekat rumahku yang dikelilingi kuburan, hahaha tawa kita panjang.

Kubilang ku suka namanya, bagiku puitis terdengar.

Lalu kami membahas kembali mengapa seseorang harus rapi jika ingin bertemu orang lainnya.
“Mungkin maksud kawan kita baik, dia menyuruhku pulang dulu lalu mandi walau tidak kulakukan sebelum menemuimu karena dia berpikir kalau aku berantakan menandakan kamu tidak sebegitu specialnya untuk aku. Tapi inilah aku tak mandi saja memesona.” Perkataan itu terlontar seolah-olah menguatkan diri sendiri. “Bercanda, tapi yang pasti inilah aku dengan segala keapaadannya aku. Aku tak bisa berubah untuk orang lain. Kepikiran lagi kan jadi menitikan air mata, aku memang punya tingkat keinsecuran mengenai tubuh yang begitu tinggi. Sensitif di hal itu. Tapi selamat ya kataku. Selamat telah menjadi alasan aku bisa begadang, hahaha.”

“Tapi kata Rhoma itu tidak baik. Jadi aku harus senang atau sedih?”

“Senang dong, karena baik belum tentu benar.”

“Hi sebelum kita jatuh lebih jauh ada yang mau aku tanyain.”

"Hah?" Sebenarnya saya sudah tahu arah pertanyaannya tapi saya pura-pura kaget karena mengapa begitu cepat mempertanyakan hal yang sulit kujawab. Sudah larut untuk membicarakan hal-hal yang seperti ini.

“Aku cuma mau konfirmasi, apa kamu sudah punya pasangan?”

“Mungkin aku seperti binatang karena mempunyai beberapa dan masih ingin lainnya, tapi sejatinya aku masih makhluk merdeka. Aku berhak memilih dengan yang paling membuat bahagia”

“Aku harus menghormati relasi itu, jadi baiknya menurutmu bagaimana?”

“Bersamalah dengan seseorang yang kau lihat pada dirinya refleksi dari kebaikan pada dirimu dan menggetarkan. Aku tak tahu harus jawab apalagi. Bagaimana kalau pertanyaanya dibalik.”

“Aku belum bisa jawab, makanya aku tanya pendapatanmu.”

“Maaf ya telah lancang.”

“Lancang kenapa?”

“Tiba-tiba merapihkan rambutku jika kawan kita menyebut namamu menanyaiku, lancang telah menggodamu, menaruh debar di dadaku tentangmu, cempala tengah dengkul gemetar dan merubah suhu tubuh jika di dekatmu. Maaf jika kamu tidak berkenan.”

“Aku yang minta maaf telah masuk ke lingkaranmu dan menganggu jam tubuhmu. Namun yang berhak atas reaksi dirimu itu kamu jangan minta maaf ke aku dan jangan pernah minta maaf hanya untuk menyelesaikan suatu perkara agar cepat selesai.”

“Kamu pun tak perlu meminta maaf, kalau aku berkata tak merasa terganggu dan malah bahagiapun nampaknya tak ada artinya. Maafin aku ternyata di balik ketegaranku masih banyak sisi melankolis begini. Sudah berapa lama tidak merasakan perasaan-perasaan sentiment seperti ini. Menyebalkan untuk seorang aku yang katanya pandai mengontrol hasrat.”

“Aku tak bermaksud membawamu ke keadaan yang kamu rasakan sekarang.”

“Terima kasih sudah meluruskan dan membuatku tahu batasan. Maaf jika ada tindakan atau percakapan yang membuatmu kurang nyaman. Oh ini rasanya senang dan sedih dalam waktu yang bersamaan.”

“Aku bisa bantu hilangkan sedihmu? Atau jika tak bisa, pindahkan semua ke aku.”

“Tak perlu karena jika kamu sedih aku orang pertama yang akan terluka. Hahaha geli dengar ucapan sendiri.”

“Ini aku lagi senyum-senyum lho. Padahal ketemu aja belum begitu lama ya, kamu kan sering meneliti, kamu udah buat observasi tentang ini belum?”

“Sudah kok, sambil mendongeng hal-hal yang tak masuk akal tentang energi yang dimiliki manusia dalam ‘mencari’.”

Dia manggut-manggut akan sesuatu yang tidak dipahami dan tidak dia rasakan.
  

2 komentar:

  1. Mba tulisanya keren-keren tapi knpa belakangan jarang keliatan post ?

    BalasHapus
  2. Syukur deh kalo ternyata masih ada tulisan meski masih tersimpan ,saya selalu tertarik dgn apa yg mba karya kan selain menarik juga bisa mewakili perasaan yg saya alami :)

    BalasHapus