Aku ingat percakapan penuh ketegangan di meja makan depan kolam renang di salah satu villa daerah Krobokan, Bali malam itu. Percakapan yang terkadang mengubah paradigmaku tentang berkeluarga. Dia salah satu sahabatku, walau kenal sejak kecil tapi wataknya yang keras kupikir tidak akan pernah cocok denganku yang bertabiat serupa, tapi bagaimanapun juga di antara kawan-kawan lainnya, omongan dariku yang selalu didengarnya, mungkin hanya padaku dia bisa menikahkan persepsi.
"Lo tahu kan gue sekolah perawat dipaksa nyokap dan sekarang udah setahun gue enggak pernah komunikasi baik dengan keluarga, gue nikah udah lama tapi nyokap masih aja selalu maksa nyuruh adain resepsi pernikahan gue bareng Daud dengan adat Batak hingga meriah dan gue enggak mau." Begitu kurang lebih katanya.
"Lo tahu kan gue sekolah perawat dipaksa nyokap dan sekarang udah setahun gue enggak pernah komunikasi baik dengan keluarga, gue nikah udah lama tapi nyokap masih aja selalu maksa nyuruh adain resepsi pernikahan gue bareng Daud dengan adat Batak hingga meriah dan gue enggak mau." Begitu kurang lebih katanya.
Daud itu nama Islam yang didapat salah satu pria berkewarganegaraan Perancis yang lahir, hidup dan tinggal di kota mode tersebut yang akhirnya memutuskan menikah dengan sahabatku.
"Lo tahu kenapa gue memutuskan menikah muda? karena lo tahu kalau jadi perawat paling gaji gue enggak seberapa dan gue capek doang, ditambah lo tahu adik gue banyak banget, gue anak pertama, pasti gue yang dijadiin tulang punggung keluarga, lo juga tahu ayah gue udah enggak kerja, daripada gue beban, tertekan dan enggak bahagia, mending gue cari kebahagian lain dengan cara menikah dan keluar dari rumah."
Ujar seorang Nyonya Mundaka dengan sedikit pongah.
Ujar seorang Nyonya Mundaka dengan sedikit pongah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar