Alkisah di pojok remang sebuah rumah makan, seorang perempuan sedang melakukan perbincangan dengan dia punya Tuhan.
Tuhan, lihat di depan sana ada lelaki yang merasa dirinya menawan melihat ke arahku. Secara penampilan ia tipeku; berantakan namun pesolek, tapi Kau lebih tahu aku Tuhan, aku tipe orang yang tak pernah ingin memuaskan hasrat inderawi penglihatan. Dia pintar, tapi dia sepersamaan denganku; dia keras, dia egois, dia curiga tak mudah percaya, mendadak aku menjadi takut jika di dekatnya.
Tuhan, lihat lelaki yang duduk tepat di sebelahnya. Tubuhnya gempal lucu, kulitnya putih susu, gurat wajahnya keras tapi sifatnya manja serta pemalu, sekilas ia pun melihat ke arahku. Dia baik, tapi dia tak pernah tegas dengan perasaannya sendiri, sebagian tindak tanduknya terintervensi lelaki pertama yang kuceritakan tadi. Dia pun ku rasa tak benar-benar, karena jika benar ingin, dia pasti mau mengambil resiko, nyatanya dia lelaki peragu tak bernyali tangguh.
Tuhan, lihat lagi lelaki yang berdiri di dekat adik perempuanku. Tubuhnya penuh tatto, wajahnya beratribut lebih. Lama tinggal di Swiss dengan dunia yang serba bebas, dia pun menatap ke arahku Tuhan. Dia siaga mengantar jemputku kemanapun aku mau, ku pikir jika aku bersamanya aku akan merasa aman, tapi nyatanya aku gusar jika di dekatnya terlalu lama. Untuk sekadar berbincang panjang, bersamanya pun aku terkadang merasa sukar.
Tuhan, Tuhan... lihat seseorang dari kejauhan sana, berjarak milyaran kali depa. Baru kali ini aku merasakannya lagi; perasaan tak kuasa menatap mata lawan bicara. Aku yang terkadang angkuh ini ketika berjabat tangan, tapi padanya ku taruh segan. Lelaki baik, ramah dan sederhana, di dekatnya aku bisa menjadi diriku sendiri. Tapi yang ini pun, ku tahu juga bukan kan Tuhan? selain telak dengan jarak, diapun kekasih orang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar