Senin, 03 November 2014

(Bukan) Punguk Melihat Punggung

"Kalau beli buku ini dapat tote bagnya dua ya?"
"Kan beli bukunya satu, jadi dapatnya satu ya."
"Dua deh ya."
"Yaudah dua, tapi bantu promosiin lewat twitter ya."
"Ih asal kamu tahu aja, satu twitnya dia senilai 750K," kawannya menambahkan.
"Mas Fras, ini pasti mas Fras!"
"Lho, ini Ruth."

Kemarin aku tidak sengaja bertemu rekan kerjamu, atasanmu tepatnya yang sekaligus kawan menulisku yang sampai sekarang tak pernah terealisasi karena kesibukan menjadi asisten eksekutif produser dan ikut shooting iklan televisi dulu. Cukup lama kami bergurau dan sesekali dia menyebut namamu. Dia bilang kau pun ada di lingkungan Istora sambil sesekali mencandaiku. Aku yang berlagak acuh tapi dalam hatiku tersipu. Kami bergurau agak lama hingga akhirnya dia memutuskan beranjak dari stand tempatku bekerja.

Jam sembilan malam sebelum pulang akhirnya aku memutuskan ke booth tempat kerjamu, aku bertanya pada seorang laki-laki yang sedang berjaga di sana perihal keberadaan dirimu, aku tahu sebenarnya kau sudah tidak bekerja di sana, kalau kau masih bekerja mana mungkin aku punya keberanian walau sekadar berpapasan sekalipun tidak sengaja bertemu denganmu.

Esoknya aku kembali bekerja dan siangnya ku melewati boothmu lagi untuk pergi ke kamar kecil, entah engkau entah bukan, ku lihat sosokmu walau sebatas punggung, aku hampir hapal celana cino coklat dan kaos yang sering kau kenakan dulu. Sampai saat ini pun aku tak pernah benar-benar paham mengapa lampau ku kau punggungi. Mungkin aku yang sungguh bukan siapa-siapa untuk laki-laki perlente sepertimu, berlagak perlente tepatnya, dari bawah tiba-tiba di atas lagumu jumawa. Tapi ada beberapa hal yang ku tahu pasti, selepas denganku, orang-orang terdekatmupun perawakannya tak jauh beda denganku, mungkin itu yang disebut aku perempuan yang tidak ada apa-apanya tapi akan susah payah untuk kau lupakan.

Kita kenal karena nama besar orang-orang di belakang kita, kau dengan mantan Menteri Perdagangan yang gagal mencalonkan diri menjadi Presiden, sedang aku besar dari keluarga orang Wahid di belakang namanya di Republik tempat kita menghirup oksigen.

Kemarin aku bekerja di production house dan memilih resign, tak lama kau bekerja di periklanan dekat kantorku dulu di daerah Kemang, lalu kemarin kau bekerja di media digital dan sekarang giliranku, begitu seterusnya. Ku pikir kita serupa bayangan tapi tak pernah beriringan.

Kau masih ingat percakapan kasur kita malam itu bahwa tulisan dan gaya sexku akan selalu sama; sama-sama antiklimaks. Dan entah apalah maksudnya tulisanku ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar