Senin, 16 Januari 2017

Cerita yang Disempurnakan



Seorang kawan kecil saya bercerita pada kami. Dia diminta menjadi pembawa dan pemeriah di sebuah acara saklar mantan kekasihnya. Hubungan mereka berlangsung belasan lama. Sebelumnya laki-laki itu malah meminta menghabiskan malam bersama, melakukan percakapan-percakapan tubuh sebelum hari pernikahannya tiba. Mereka berpisah bukan karena sudah tak cinta, melainkan atas nama Tuhan yang diucapkannya berbeda. Laki-laki itu menjalani delapan tahun bersama dengan perempuan yang dikenalnya dari sebuah ritual agama. Kawan saya masih turut serta dalam delapan tahun kebersamaan mereka.

Bodoh adalah bahan dasar cinta. Jika kawan lainnya memarahi, tapi tidak dengan saya. Saya tak punya hak menegur atas karena harga diri dan ketidaktahuan dirinya. Kawan saya punya akal dan nalurinya sendiri, tanpa harus terinterpensi sekelilingnya, dia berhak memilih kehendak hatinya.

"H- berapa kau memutuskan tak kan berkomunikasi dan bertemu lagi dengannya?"
H-7 katanya lantang, sambil menganulir menjadi H-3. 

Saya semakin ragu akan segala makna pernikahan. Mengapa kita didoktrin budaya harus menikah hanya karena omongan tetangga, saudara dan penyempurnaan ibadah; untuk memiliki keturunan dalihnya, agar tua nanti ada yang urus dan mati ada yang membacakan doa.

Menikah bukan lah akhir, dari segala rasa, asa dan kemerdekaan yang direnggut paksa hanya karena dogma. Berbahagialah dan terimalah setiap sakitnya bahwa kita tidak memiliki kuasa apa-apa di hidup ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar