Tidak selamanya ucapan
“Hi, apa kabar?” akan terjawab dengan “Kabar baik,”
sisanya berakhir dengan "Jemput di depan komplek ya, anterin aku ke sini (menyebutkan suatu tempat karena ada suatu urusan)."
Pintu gerbang berderit langkah tegas namun gontai memasuki rumahku seraya menyium telapak tangan Ibu. “Masih inget aku gak tante?” Sebelum Ibu mengenalinya aku yang merasa cemas langsung menarik tangannya keluar rumah mengingat dia pernah disuruh pulang Ayah karena bertato di seluruh tubuh dan sekarang di wajahnya juga. Ayah tak suka aku dijemput dia yang mesin motornya berisik.
Kali ini dia menjemputku bukan dengan vespa putih yang dulu pernah membawa kita dengan bangga di jalan raya walau keseringan susahnya, malam ini kami akan mengelilingi Jakarta dengan caferacer yang dimodif sedemikian rupa hingga aku susah payah untuk duduk di joknya yang hanya muat satu burit seharusnya.
“Kakimu kenapa?”
“Kena celurit pas misahin orang tawuran Sabtu malam kemarin.”
“Kenapa gak bilang? Kan kalau aku tahu aku gak bakal minta ketemu.”
“Ya kapan lagi aku bisa memperbaiki hubunganku denganmu. Sekarang aku lagi dekat dengan anaknya Indro Warkop, tapi kalau kamu mau kembali denganku dan serius ya aku rela melepas orang-orang selain kamu.”
Lalu aku tersadar mungkin ada orang-orang yang saking suka lantas menjelma sayangnya ke kamu jika kamu minta bulan sekalipun dan dia mampu, kamu pasti akan diberi. Ternyata cinta benar-benar mengecilkan volume otak.
Seraya menahan nafas di sepanjang jalan dan menyadari ternyata hasratku bukan lagi menjadi self center di aspal dan merasakan adrenalin rush seperti ini, inginku bukan lagi tentang dia. Lagipula tak ada yang mau duduk di kelas yang sama dan mengulang kesalahan berkali-kali bukan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar